Sejarah Pendidikan Anak Tunagrahita
di Indonesia
Usaha pendidikan anak-anak tunagrahita mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan bermacam-macam pandangan orang terhadap
anak tunagrahita khususnya dan berkelainan (penyandang cacat) pada umumnya.
Pendidikan anak tunagrahita di Indonesia daoat
ditinjau dalam tiaga fase perkembangan, yaitu :
a.
Masa sebelum abad ke-20
b.
Masa sebelum perang dunia ke-2
c.
Masa sesudah Indonesia merdeka
a. Masa Sebelum Abad ke—20
Pada
masa ini perhatian terhadap anak tunagrahita, seperti halnya terhadap
penyandang cacat lainnya, di Indonesia berkembang seperti halnya di bagian
dunia lainnya, yaitu: diantaranya dipengaruhi oleh pandangan-pendangan super
natural (tahayul), diawali oleh langkah-langkah perawatan yang timbul dari
kalangan masyarakat.
Seperti
halnya di tempat-tempat lain di dunia, orang-orang Indonesia zaman dahulu
percaya kepada hah-hal yang bersifat super natural, yaitu kepada roh-roh,
kekuatan gaib, dan para dewa. Menurut kepercayaan ini segala sesuatu di alam
raya ini berlangsung menurut kehendak roh, kekuatan gaib, dan para dewa.
Lahirnya
anak tunagrahita disebabkan oleh para roh, kekuatan gaib, dan para dewa yang
menghendaki seseorang menjadi cacat. Hal itu katanya ada hubungannya dengan
keberuntungan anak yang bersangkutana atau orang tuanya. Lahirnya seorang anak
tunagrahita mungkin merupakan pertanda bahwa kekuatan-kekuatan super natural
marah atau memberi cobaan. Atau mungkin pula karena kekuatan-kekuatan super
natural akan memberikan rezeki yang lebih banyak kepada anak yang bersangkutan
atau kepada keluarganya.
Kedatangan
agama Islam dan Nasrani membawa ajaran baru kepada orang Indonesia, di
antaranya :
1)
Yang mengatur segala segala sesuatu
bukanlah roh, kekuatan gaib, atau para dewa, melainkan Tuhan Yang Maha Esa
(Allah SWT).
2)
Setiap orang mempunyai kewajiban moral
dan hendaklah melakukan usaha-usaha kongkret untuk orang-orang yang lemah,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan penyandang cacat di antaranya anak
tunagrahita.
Ajaran berbuat baik kepada orang
lain tercantum pada kitab suci dan merupakan ajaran ahlak yang penting menurut
agama. Nabi Muhammad SAW sendiri mencontohkan mendirikan “Ihwanus Safa” untuk
menampung orang-orang yang merupakan pertolongan (fakir miskin, yatim,
anak-anak cacat dan sebagainya).
Tidaklah mengherankan apabila pada
abad ke-17 para Sultan di Pulau Jawa telah mulai mengadakan
perawatan/pemeliharaan terhadap orang-orang yang memerlukannya termasuk para
penyandang cacat. Para Sultan itu di samping memegang kendali pemerintahan juga
merupakan pemimpin agama.
Pada zaman pemarintahan
Hindia-Belanda, Indonesia mengenal dua jenis pendidikan yaitu :
1)
Yang diselenggarakan oleh pemerintah
(Sekolah Negeri)
2)
Yang diselenggarakan oleh masyarakat
(Sekolah Swasta)
Kebanyakan sekolah-sekolah swsta
yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh agama (para kiyai-kiyai). Lembaga
pendidikan yang diselenggarakan oleh
para kiyai itu disebut pesantren. Berbeda dengan sekolh-sekolah yang
diseleggarakan oleh pemerintah, di pesantren-pesantren (dan di masjis-masjid)
menganut 2 ciri yang penting, yaitu :
1)
Beranggapan bahwa setiap orang wajib
belajar (dalam bahasa agama Islam dikatakan: Mencari ilmu itu wajib bagi setiap
pria dan wanita muslim)
2)
Mempergunakan tutor dan melaksanakan
prinsip individualisasi pengajaran (individualization teaching)
Kedua
prinsip pendidikan pesantren itu penting bagi anak luar biasa termasuk anak
tunagrahita. Karena dalam prinsip yang pertama telah mengakui bahwa setiap
orang tidak terkecuali penyandang cacat berhak mendapat pendidikan ini sesuai
dengan UU RI No. 2 tahun 1989, sesuai pula dengan prinsip-prinsip PBB (UNESCO) tentang Universal Education dan Education For All. Pada prinsip yang kedua
yaitu: prinsip tutor dan individualisasi pengajaran. Pesantren-pesantren itu
telah menunjuk tutor-tutor, yaitu: santri-santri sebior yang telah kemajuan
untuk membantu mengajar adik-adik kelasnya. Bantuan tersebut pada umumnya
dilaksanakan secara individual at dalam kelompok kecil. Prinsip tutor ini
berarti melaksanakan system individualisasi pengajaran yaitu melaksanakan
pengajaran dengan cara menyesuaikan bobot dan tingkat bahan pelajaran kepada
tingkat kemajuan dan kemampuan peserta didik. Prinsip incividualisasi
pengajaran ini mempunyai peran penting dalam pendidikan dan pengajaran bagi
anak tunagrahita khususnya dan uumumnya pada semua anak berkelainan.
Meskipun
pada masa sebelum abad ke-20 di Indonesia belum melaksanakan pendidikan anak
cacat secara melembaga, masa ini ditandai dengan berkembangnya pemeliharaan
terhadap anak dan orang dewasa yang
cacat termasuk penyandang tunagrahita. Namun sesuai dengan prinsip bahwa
menuntut ilmu wajib bagi semua orang tidak mustahil ada penyandang cacat
misalnya tunagrahita ringan mengkuti pendidikan di pesantren-pesantren
bersama-sama denganrekan-rekanya yang normal. Ini berarti sudah melaksanakan
prinsip pendidikan terpadu.
Demikian
tanpa disadari lembaga pendidikan system pesantren itu telah meletakkan dasarr
yang penting untuk memenuhi hak para penyandang cacat memperoleh pendidikan sebagaimana
rekan-rekannya yang normal.
b. Masa sebelum Perang dunia ke-2
Dalam
permulaan abad ke-20 Pemerintah Hindia Belanda telah mempunyai beebrapa sekolah
khusus untuk anak-anak bumi putra, di antaranya Sekolah Desa yang lamanya 3
tahun dan ada sekolah sambungan yang lamanya 2 tahun sebuah Sekolah Desa (verolg); HIS yang lamanya 6 tahun dan 7
tahun. Ada juga sekolh lanjutan, seperti sekolah guru 2 tahun (CVO); dan ada
pula yang 4 tahun lamanya (NS) setelah sekolah rendah lima tahun; HIK untuk
tamatan dari HIS; dan da juga sekolah lanjutan umum lainnya dan sebagainaya.
Ada
juga sekolah khusus untuk anak-anak orang Belanda dan Eropa lainya, yang juga
boleh diikuti oleh anak bumi putra yang orang tuanya mempunyai jabatan tertentu
pada Pemerintah Belanda. Untuk tingkat sekolah rendahnya ialah ELS dan ada juga
sekolah lanjutannya seperti HBS.
Di
samping sekolah pemerintah berkembang pila sekolah-sekolah swasta yang
diselenggarakan oleh perkumpulan-perkumpulan atau yayasan-yayasan, misalnya:
Sekolah Taman Siswa, Sekolah-sekolah yang diselanggaarakan oleh organisasi
keagamaan, seperti: Sekolah-sekolah Muhammadiayah, Nahdatul Ulama, Matla’ul
Anwar, Al Waliyah, dan sebagainya.
Bahan
yang pertama mengusahakan Pendidikan Luar Biasa untuk anak Tunagrahita di
Indonesia ialah perkumpulan Pengajaran Luar Biasa, suatu perkumpulan amal yang
pada waktu itu bernama “Vereniging voor Buitengewoon Lager Onderwijis”.
Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 31 1927 atas inisisatif dr. A. Kits Van
Heininge dan W. Akkersdijk, berkedudukan di Bandung. Dengan surat keputusan G.
G Nederlands Indie 16 Pebruari 1928 No. 34 Perkumpulan tersebut diakui sebagai
badan hukum (rechtspersoon) dan disetujui pula anggaran dasarnya.
Dlam anggaran dasar
perkumpulan tersebut pasal 2 (maksud dan tujuan):
1)
Perkumpulan bermaksud. Mengusahakan dan
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran khusus untuk anak-anak yang
“Terbelakang” atu “ Lemah Pikiran” yang kurang mampu atau tidak sanggup
mengikuti pendidikan dan pengajaran di sekolah biasa sebagai akibat kelambatan
atau gangguan psikis di dalam perkembangan daya piker.
2)
Perkumpulan bertujuan, memberikan
pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kbutuhan dan kesanggupan anak-anak yang tersebut pada pasal 2 ayat a,
agar mereka dapat menjadi anggota mayarakat yang berguna serta diharapkan
secara ekonomis dapat berdiri sendiri.
Sekolah yang pertama untuk anak tunagrahita
didirikan oleh perkumpulan tersebut dalam tahun 1927 itu juga bertempat di
jalan Raya Timur 288 Bandung. Sebagai Direktur sekolah yang pertama ialah Tuan
J.E Folkerts, karena itu sekolah itu dulu diberi nama “J.E Folkerts School”
sesuai dengan nama Direktur sekolah tersebut.
Meskipun secara resmi dalama penerimaan murid tak
ada pembatasan, tetapi dalam kenyataanya yang diterima menjadi murid hanyalah
anak-anak orang Belanda dan Eropa lainya. Sampai akhir 1941 sekolah ini telah
mempunyai murid sebanyak 54 orang.
Dalam brosur perkumpulan tersebut dinyatakan pula
tentang system pengajaran yang diberikan ialah system individualisasi
pengajaran, yaitu murid-murid mendapat bahan pelajaran sesuai dengan
keterbatasan tingkat kemampuan dan kemajuan yang dicapai.
Sampai meletusnya perang dunia kedua sekolah luar
biasa untuk anak tunagrahita di Indonesia berjumlah tunggal yaitu hanya
satu-satunya itu saja di Bandung. Pada waktu pendudukan Jepang sekolah ini
tidak berjalann, baru diaktifkan kembali sejak pengakuan Republik Indonesia
oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1950.
c.
Sesudah
Indonesia Merdeka
Sejak awal kemerdekaan,
para pemimpin Republik Indonesia telah memperhatikan pendidikan bangsanya. Dalm
UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat
pengajaran”, pada ayat 2 dinyatakan; Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Sebagai tindak
lanjutnya pemerintah Republik Indonesia yang waktu itu beribukota di
Yogyakarta, mengeluarkan UU No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah. UU ini kemudian diberlakukan di seluruh wilayah Republik
Indonesia dengan nama undang-undang pokok pendidikan dan pengajaran nomor 12
tahun 1954. Dalam UU tersebut pada bab V pasal 6 ayat 2 dinyatakan “Pendidikan
dan pengajaran luar bisa diberikan dengan khusus untuk mereka yang
membutuhkan.”
Dengan demikian, sejak
itu Indonesia memiliki dasar hukum positif untuk menyelenggarakan pendidikan
luar biasa yaitu pendidikan khusus bagi anak berkelainan (berkekurangan jasmani
dan rohani). Untuk mengisi dan melaksanakan UUD dan undang-undang pendidikan
dan pengajaran tersebut , pemerintah bersama organisasi/perorangan swsta yang
berminat dalam penyelenggaraan
pendidikan penyandang cacat mengaktifkan kembali sekolah-sekolah swasta
untuk anak cacat yaitu sekolah anak tunanetra, tunarungu dan tunagrahita, yang
ketiganya bertempat di Bandung. Ketiga sekolah anak-anak cacat tersebut selama
masa pendudukan Jepang tidak berjalan (ditutup).
Dari catatan sejarah
yang ada bahwa selama Pemerintah India Belanda dab pendududkan Jepang sampai
dengan tahun 1952 belum seorang pun bangsa Indonesia yang mendapat pendidikan
khusus untuk menjadi guru pendidikan bagi anak-anak cacat (PLB) termasuk untuk
menjadi guru pendidikan anak tunagrahita. Padahal tenaga guru merupakan unsur
yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan pendidikan, demikian pula untuk
pendidikan penyandang cacat termasuk pendidikan untuk anak tunagrahita.
Untuk memenuhi
kebutuhan tenaga guru bagi sekolah-sekolah pengajaran luar biasa yang kemudian
menjadi sekolah pendidikan luar biasa dimaksud, maka pada tahun 1952 dengan surat
keputusan nomor 24954 tertanggal 26 Juli 1952, Pemerintah Republik Indonesia
membuka Sekolah Guru Pengajar Luar Biasa (SGPLB) yang pertama di Bandung.
Sekolah Guru pengajar luar biasa ini menerima guru-guru lulusan SGB yang
berprestasi serta telah memiliki masa kerja di Sekolah Rakyat
sekurang-kurangnya 2 tahun dengan umur tidak lebih dari 30 tahun. Mereka di
didik selama 2 tahun dan menjalani latihan praktek di Sekolah Rakyat Latihan
Luar Biasa (SRLLB) selama 2 tahun pula.
Penunjukan Bandung
sebagai kota yang pertama yang menyelenggarakan Sekolah Guru Pengajaran Luar
Biasa memang tepat, karena di kota ini ada Sekolah Rakyat Luar Biasa (SRLB) A,
B, C. Pemerintah segera mengangkat sekolah-sekolah rakyat luar biasa (swasta)
tersebut menjadi Sekolah Rakyat Latihan
Luar Biasa (SRLLB) untuk “mahasiswa” sekolh pengajar guru luar biasa (SGPLB).
Tamatan SGPLB yang pertama ini sebagian ditempatkan di Sekolah Rakyat Latihan
Luar Biasa di Bnadung, sebagian dikembalikan de daerah asal, masing-masing
dengan tugas membuka sekolah rakyat luar biasa baru. Kemudian SRLB dirubah
menjadi SLB (Sekolah Luar Biasa).
Sesuai dengan kondisi
waktu itu Sekolah Guru Pengajar Luar Biasa membuka 3 jurusan yaitu
jurusan-jurusan A, B, dan C masing-masing untuk calon guru sekolah anak tunanetra,
anak tunarungu, dan anak tunagrahita. Penjurusan di Sekolah Guru pengajaar luar
biasa itu kemudian berkembang menjadi cirri sekolah-sekolah luar biasa di
Indonesia yakni Sekolah Luar Biasa bagian A (untuk anak tunanetra), Sekolah
Luar Biasa bagian B (untuk yang tunarungu) dan Sekolah Luar Biasa bagian C dan
C1 (untuk anak tunagrahita ringan dan sedang).
Kemudian penjurusan di
Sekolah Guru Pengajar Luar Biasa yang kemudian menjadi Sekolah Guru Pendidikan
Luar Biasa berkembang menjadi A, B,C,D,
E. Jurusan D (untuk calon guru anak
tunadaksa), dan jurusan E (untuk calon guru sekolah pendidikan anak tunalaras).
Demikian pula SLB-SLB yang semula hanya Sekolah Luar Biasa A, B, dan C kemudian
menjadi SLB-A, SLB-B, SLB-C, SLB-D dan SLB-E. Bahkan ada SLB campuran (SLB
A-B-C) atau SALB A-B, atau SLB B-C dan ada SLB-G (uuntuk anak cacat Ganda).
Lulusan pertama SGPLG
yang dihasilkan dalam bulan September 1954 itu jumlahnya sangat terbatas yaitu:
12 orang untuk guru SLB-A, 10 untuk SLB-B dan 9 orang untuk SLB-C (untuk anak
tunagrahita). Mereka yang jumlahnya 21 orang inilah sebagai tenaga guru pertama
yang berijazah untuk mengajar di SLB-SLB di Indonesia. Telah dikemukakan di
atas bahwa tamatan SGPLB pertama ini sebagian ditempatkan di SRLLB di Bandung
dan sebagian ditempatkan di daerah asal masing-masing dengan tugas membuka SLB
yang baru.
Di
antara yang ditugaaskan di SRLLB di Bandung itu adalah saudara Mohammad Amin
yang ditempatkan di SRLLB-C (untuk anak tunagrahita) sesuai dengan jurusan yang
telah diselesaikannya. Pada bulan Mei 1956 ia diangkat sebagai kepala SRLLB-C
tersebut. Dengan demikian Mohammad Amin adalah orang Indonesia pertama yang
menjabat/ditunjuk pemerintah sebagai kepala SLB anak tunagrahita di Indonesia.
Sebagian
lulusan SGPLB pertama jurusan C ditempatkan d dearahnya masing-masing dengan
tugas membuka SLB-C baru. Semua mereka berusaha untuk merintis SLB anak
tunagrahita (SLB-C) yang baru. Angkatan SGPLB pertama itu segera diikuti oleh
angkatan kedua, ketiga dan seterusnya, sehingga dalam waktu kurang lebioh dari
20 tahun telah berdiri SLB-SLB C di Jakarta, Yogyakarta,Surabaya, dan kota lain
d luar jawa seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Bali.
Pad
tahun 1974 menurut data yang (Depdikbud 1975; 76-78) sekolah untuk anak
tunagrahita (SLB-C) telah berjumlah sebanyak 50 buah yang tersebar di 13
Propinsi di Indonesia. Yaitu di DKI Jakarta 7 buah , Jawa Barat 14 buah, Jawa
Tengah 6 buah, Yogyakarta 12 buah , Jawa Timur 4 buah, Bali 1 buah, Sumatra
Selatan 1 buah, Sumatra Barat 1 buah, Sumatra Utara 1 buah, Sulawesi Selatan 1
buah, Sulawesi Utara 1 buah dan Kalimantan Barat 1 buah.
Banyak
usaha yang telah dilakukan di Indonesia baik pemerintah maupun badan sosial
swasta atau pun organisasi professional bersama-sama mengehimbangkan pendidikan
luar biasa di Indonesia termasuk pendidikan anak tunagrahita. Dapat diketahui
dari data yang ada menunjukan bahwa lembaga-lembaga dan sekolah-sekolah untuk
anak cacat di Indonesia meningkat terus. Peningkatan pengembangan pendidikan
luar biasa di Indonesia lebih pesat lagi setelah pencanangan wajib belajar oleh
bapak presiden Soeharto. Karena wajib belajar berlaku untuk semua warga Negara,
tidak terkecuali warga yang berkelainan, baik wajib belajar yang semua untuk
tingkat Selolah Dasar maupun wajib belajar yang dicanangkan kemudian untuk
tingkat Pendidikan Dasar (SD+SLTP).
Berdasarkan
data yang ada di Depdikbud tahun ajaran 1993/94 jumlah sekolah untuk anak
tunagrahita (SLB-C, SLB-C1 dan SDLB kelas C) ada 371 buah dengan jumlah ruang
kelas 4003 buah. Jumlah murid seluruhnya sebanyak 13.614 orang dengan perincian
sebagai berikut :
KEADAAN SEKOLAH, KELAS, DAN MURID ANAK TUNAGRAHITA
DI INDONESIA TAHUN AJARAN 1993/1994
No.
|
Jenis Sekolah
|
Jumlah Sekolah
|
Jumlah Ruang Sek.
|
Jumlah Murid
|
Jumlah Prop yg melaksanakan
|
1
|
SLB-C
|
111
|
1.047
|
5.931
|
13
|
2
|
SLB-C1
|
15
|
188
|
929
|
6
|
3
|
SLB-C
dan C1
|
35
|
462
|
2.138
|
12
|
4
|
SDLB-C
dan C1
|
209
|
2306
|
4.616
|
27
|
Jumlah
|
371
|
4.003
|
13.614
|
Catatan :
Untuk
SLB-C, SLB-C1 dan SLB-C/C1 kurang lebih 80% adalah sekolah swasta, sedangkan
SDLB semuanya sekolah pemerintah.
Kita
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena pendidikan bagi anak tunagrahita
sebagai mana anak cacat yang lainnya telah mempunyai landasan yang sangat kuat,
yaitu Filsafat Pancasila dan UUD 1945; USPN (UU RI No. 2/1989) dan PP No.
72/1991. Dari data yang ada sungguh kita gembira bahwa perkembangan selama
kurang lebih 40 tahun, sejak 1954 sampai sekarang, jumlah sekolah untuk anak
tunagrahita dewasa ini telah mencapai 371 buah sekolah dengan jumlah murid sebanyak
13.614 orang.
Kita
berbesar hati dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena pendidikan bagi
anak tunagrahita di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat, jika
dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu kala.
Sebab selama pemerintahan Hindia Belanda hanya berdiri sebuah sekolah untuk
anak tunagrahita dengan jumlah murid terakhir 54 orang (semua anak-anak
Belanda/Eropa lainya).
Ditinjau
dari jumlah peserta didik anak tunagrahita,
sungguh dapat dibanggakan. Tetapi jika ditinjau dari jumlah perkiraan
anak tunagrahita di Indonesia sebagaimana telah dikemukakan maka untuk mencapai
pemerataan pendidikan bagi semua anak tunagrahita masih banyak yang harus
dikerjakan dan dikembangkan.
No.
|
Jenis Sekolah
|
Jumlah Sekolah
|
Jumlah Ruang Sek.
|
Jumlah Murid
|
Jumlah Prop yg melaksanakan
|
1
|
SLB-C
|
111
|
1.047
|
5.931
|
13
|
2
|
SLB-C1
|
15
|
188
|
929
|
6
|
3
|
SLB-C
dan C1
|
35
|
462
|
2.138
|
12
|
4
|
SDLB-C
dan C1
|
209
|
2306
|
4.616
|
27
|
Jumlah
|
371
|
4.003
|
13.614
|
Kemungkinan
besar di antara anak tunagrahita yang
belum mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah khusus (SLB-C dan C1)
banyak yang telah mengkikuti pendidikan
di sekolah biasa, khususnya bagi penyandang tunnagrahita ringan. Mereka belajar
bersama-sama dengan rekannya yang normal, yang munkin tanpa disadari oleh
gurunya bahwa mereka itu perlu mendapat perhatian khusus, bahkan di mana perlu
diberikan pelayanan khusus dalam pendidikannya di samping layanan bersama
dengan teman-teman sekelasnya yang normal. Jika tidak, mereka itu akan selalu
tinggal kelas atau kalau naik kelas karena belah kasihan, sehingga pada umumnya
mereka drop out (putus studi).
Kenyataan
tersebut di atas perlu pemikiran dan usaha nyata dalam mengintegrasikan
anak-anak tunagrahita di sekolah biasa. Pendidikan Integrasi yang di Indonesia
desebut pendidikan terpadu adalah
mengintegrasikan anak cacat termasuk yang tunagrahita di sekollah biasa. Mereka
mengikuti pendidikan di sekolah biasa bersama-sama dengan teman-temannya yang
normal. Tetapi seyogyanya meskipunmereka diintegrasikan ke sekolah biasa,
mereka tetap memerlukan layanan pendidikan khhusus sesuai dengan jenis dan
tingkat kelainannya karena itu pendidikan terpadu itu bermacam-macam bentuknya
bervariasi.
2 komentar:
Dalam blog ini sudah bagus sekali , baik template , isi , maupun gadget. Tetapi , ada gadget yang masih double , misal Blog Archive , lebar postingan ketika dibaca terlalu sempit. Tapi selain itu sudah excellent :)
terima kasih atas komentar kritik dan saran :) terima kasih telah berkunjung ^^
Posting Komentar