Pages

Hari sekarang

Aku dan Tunagrahita

Aku dan Tunagrahita

Minggu, 17 November 2013

Assesmen Tunagrahita

ASESMEN
Tindakan atau kegiatan asesmen merupakan tindak lanjut dari kegiatan deteksi yang telah dilaksanakan. Perlunya asesmen dalam pendidikan anak tunagrahita didasari oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Hasil Deteksi
            Pada kegiatan deteksi hanya semata-mata berusaha menemukan atau menelusuri keadaan perkembangan anak sehingga akhirnya dapat diduga bahwa anak tersebut tunagrahita. Dengan demikian, dalam kegiatan deteksi tidak dibicarakan mengenai tindak lanjut atau bagaimna pelaksanaan pengajarannya.
Keadaan Anak Tunagrahita
            Keterbatasan kecerdasan sedimikian rupa yang dimiliki anak tunagrahita, menyebabkan mereka memerlukan pelayanan dan program pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan anak tunagrahita dapat diketahui dengan memberikan tugas/kegiatan yang telah ditemukan melalui kegiatan deteksi.
Perbedaan Individual
            Anak tunagrahita memiliki perbedaan-perbedaan individu, baik yang berupa perbedaan inter individual maupun perbedaan intra individual.
·       Inter Individual, yaitu perbedaan kemampuan anak tunagrahita dengan temannya walaupun mereka berada pada tingkat ketunagrahitaan yang sama. Contoh: kepada dua orang anak tunagrahita ringan diberikan pelajaran berhitung dengan materi yang sama, ternya kedua anak tunagrahita tersebut tidak sama kecepatannya dalam menyelesaikan tugas, yang satu lebih cepat dari yang lain, sehingga ada perbedaan materi berhitung bagi masing-masing anak tersebut.
·       Intra Individual, yaitu perbedaan kemampuan pada diri anak tunagrahita itu sendiri. Dia memiliki kemampuan dalam satu bidang tertentu, akan tetapi tidak mampu dalam bidang yang lainnya. Contoh: seorang anak tunagrahita memiliki kemampuan yang baik dalam membaca, akan tetapi dalam pelajaran berhitung ia mengalami kesulitan yang tergolong berat.

1.    Pengertian Asesmen
Istilah asesmen berasal dari Bahasa Inggris yaitu assement yang berarti penilaian suatu keadaan. Jadi asesmen anak tunagrahita adalah penilaian kemampuan anak tunagrahita. Penilaian yang dimaksud dalam hal ini berbeda dengan evaluasi. Jika evaluasi dilaksanakan setelah anak itu belajar dan bertujuan untuk menilai keberhasilan anak dalam pelajaran; maka asesmen tidak demikian. Dalam asesmen penilaian dilakukan pada saat anak belum di berikan pelajaran setelah dari hasil deteksi ditemukan bahwa ia diperkirakan tunagrahita, dan/atau sementara belajar untuk menentukan program selanjutnya. Asesmen bukan pula tes, akan tetapi tes merupakan bagian dari asesmen. Sejalan dengan itu, Mulliken & Buckley (1983) mendefinisikan asesmen sebgai berikut :
Assessment refers to the gathering of relevant information to help an individual make decisions. Assessment in educational setting is a multipaceted process that involves for more than the administration of a test.
            Dari uraian diatas jelaslah bahwa asesmen merupakan usaha untuk menghimpun informasi yang relevan guna memahami atau menentukan keadaan individu. Dalam bidang pendidikan asesmen merupakan berbagai proses yang rumit untuk lebih melengkapi hasil tes.

2.    Tujuan Asesmen
Tujuan dilakukannya asesmen berkaitan erat dengan waktu mengadakannya. Berikut ini akan diuraikan mengenai waktu pelasanaan asesmen.
a.         Asesmen yang dilakukan setelah deteksi
Kegiatan asesmen ini dilaksanakan setelah anak tunagrahita ditemukan, dengan demikian tujuan asesmen ini adalah:
1)        Untuk menyaring kemamuan anak tunagrahita
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan anak dalam setiap aspek. Misalnya, bagaimana kemampuan bahasanya, kemampuan kognitifnya, kemampuan gerak, dan kemampuan penyesuain dirinya.
2)        Untuk keperluan pengklasifikasian, penempatan, dan penentuan program pendidikan anak tunagrahita. Setelah diadakan penyaringan maka dapat diperkirakan apakah anak tersebut tersebut termasuk ke dalam anak tunagrahita ringan, sedang, atau berat. Pengambilan kesimpulan dan penetapannya sudah barang tetntu harus didukung oleh data yang jelas. Pengklasifikasian ini erat kaitannya dengan usaha penempatan. Hal ini penting sebab anak tunagrahita yang tergolong ringan bila di tempatkan bersama-sama dengan anak tunagrahita yang tergolong berat sudah tentu akan menyulitkan pengelola pendidikannnya, sebab perbedaan kemampuan diantara mereka amat berbeda
3)        Untuk menentukan arah dan kebutuhan pendididkan anak tunagrahita. Arah/tujuan pendidikan anak tunagrahita pada dasarnya sama dengan tujuan pendidikan pada umumnya. Hanya saja, mengingat kemampuan anak tunagrahita yang terbatas, maka perlu dirumuskan tujuan khusus yang disesuaikan dengan berat-ringan ketunagrahitaannya. Dengan demikian, keluasan dan kedalaman tujuan pendidikan bagi mereka sangat erat kaitannya dengan dengan tingkat ketunagrahitaan. Oleh karena tujuan pendidikan bagi anak tunagrahita ringan akan berbeda dengan tujuan pendidikan anak tunagrahita sedang  maupun tunagrahita berat, maka perumusan tujuan untuk masing-masing tingkat ketunagrahitaan sangat diperlukan karena merupakan dasar pandangan atau acuan untuk menentukan arah ataupun program pendidikannya.
4)        Untuk mengembangkan program pendidikan yang individualisasikan atau biasa disebut juga IEP (individualized Educatioanl Program). Dengan data yang diperoleh sebagai hasil asesmen dapatlah diketahui kemampuan dan ketakmampuan anak tunagrahita. Kemampuan-kemampuan itu menjadi dasar untuk mengembangkankemampuan berikutnya. Akibat dari pengembangan program yang didasarkan pada hasil asesmen, maka muncullah rumusan program yang disesuaikan dengan kemampuan setiap anak.
5)        Untuk menentukan strategi, lingkungan belajar, dan evaluasi pengajaran. Sama halnya dengan IEP bahwa dengan melihat hasil asesmen dapat ditentukan model strategi, lingkungan belajar, evaluasi, maupun tindak lanjut pembelajaran.
Contoh
a)         Strategi Pengajaran
Strategi pengajaran klasikal kurang sesuai bila diterapkan pada kelas anak tunagrahita terutama jika mengajarkan bidang-bidang yang membutuhkan konsentrasi atau pembahasan tentang konsep-konsep.
Sebaliknya strategi tersebut sesuai bila digunakan dalam mengajarkan hal-hal yang sifatny rekreatif misalnya pelajaran seni suara.
b)        Pengaturan Lingkungan Belajar
Pengaturan lingkungan belajar baik berupa lingkungan fisik maupun lingkungan suasana harus disesuaikan dengan keadaan anak tunagrahita. Lingkunag fisik meliputi: pengaturan meja dan kursi, lemari, papan tulis, maupun gambar-gambar. Biasanya pengaturan hal-hal tersebut untuk kelas anak kecil yang tingkat ketunagrahitaannya ringan berbeda dengan untuk kelas anak yang tingkat ketunagrahitaannya sedang dan berat. Lingkungan suasana meliputi: peraturan-peraturan, suaar guru dalam mengajar, situasi lingkungan dan sebagainya.

c)         Evaluasi
Baik bentuk, waktu pelaksanaan, maupun pencatatan dan pelaporan hasil evaluasi sudang barang tentu harus dirumuskan sesuai dengan tingkat ketunagrahitaan anak. Pada anak tunagrahita ringan umumnya dapat dihadapkan pada bentuk soal tertulis dan lisan, akan tetapi anak tunagrahita sedang atau berat sebaiknya diberikan dalam bentuk perbuatan.
b.    Asesmen pada saat dan setelah diberi pelajaran
Asesmen yang dilaksanakan pada saat dan setelah anak tunagrahita diberi pelajaran diperlukan untuk maksud merencanakan program selanjutnya.
Adapun tujuan asesmen adalah:
1)   Agar guru mendapat informasi tentang keberhasilan dan kegagaln mengajar, serta kemajuan dan kesulitan belajar siswa
2)   Agar guru dapat memilih dan menentukan program, evaluasi, dan strategi belajar mengajar, serta pengaturan lingkungan belajar.
3)   Agar guru dapat melakukan diagnosa, melaksanakan remedial teaching, dan memberikan tindak lanjut pelajaran

3.    Ruang Lingkup Asesmen
Dengan memperhatikan tujuan asesmen sebagaimana diuraikan diatas, maka raung lingkup asesmen dapat dikelompokan sebagai berikut:
a.        Ruang lingkup asesmen yang di berikan sebelum anak mengikuti pelajaran.
1)   Kemampuan menolong diri, meliputi: makan-minum, berpakain dan merias diri, menjaga kebersihan (merawat) diri, keselamatan diri, dan orientasi lingkungan.
2)   Kemampuan psikomotor, meliputi: gerak motorik kasar-halus, membangun bentuk, melipat, menggunting, menggambar, menempel, dan sebagainya.
3)   Perkembangan sosial emosional, meliputi: bereaksi terhadap rangsangan dari luar, menyesuaikan diri pada situasi, bermain bersama, partisipasi dalam kegiatan, melaksanakan perintah, sikap percaya diri, dan sebagainnya.
4)   Perkembangan bahasa, meliputi: bicara, pembendaharaan kata, menulis, menggambar dan sebagainya.
5)   perkembangan kognitif, meliputi: pengertian tentang ukuran, jumlah, bentuk, inisiatif, melaksanakan perintah, orientasi ruang san sebagainnya.

b.         Ruang lingkup asesmen pada saat anak telah belajar di kelas
                                    Setelah anak tunagrahita mengikuti pelajaran, ruang lingkup asesmen meliputi penilaian untuk menentukan apa yang harus di ajarkan kepada siswa secara individu, dan penilaian untuk menentukan cara guru dalam mengajar siswa untuk mencapai kemajuan yang optimal.
4.        Metode asesmen
            Metode atau cara yang dapat digunaakn dalam melaksanakan asesmen antara lain:
a.  Observasi, pengamatan yang dilakukan terhadap cara belajar siswa, tingkah laku yang muncul pada saat siswa belajar, dan lain-lain.
b. Tes atau evaluasi hasil belajar, diperoleh dengan cara memberikan tes pada setiap bidang pelajaran.
c.  Wawancara, dilakukan terhadap orang tua, atau keluarga, dan siswa.
                        Sedangkan alat yang digunakan untuk mengolah data yang di peroleh melalui metode diatas adalah:
a.  Checklist, yaitu memberikan tanda pada bagian-bagian yang telah ditentukan pada pedoman sesuai dengan kemampuan anak.
b. Skala nilai, yaitu bentuk penilaian yang mengarah pada kemampuan atau prestasi belajar siswa.
            Adapaun bentuk pelaporan hasil asesmen dapat berupa
a.  Grafik, yaitu menggambarkan posisi setiap siswa dalam tiap-tiap bidang pengajaran
b. Data kualitatif, yaitu deskripsi singkat tentang kemampuan siswa dalam tiap-tiap bidang pengajaran.
c.  Data kuantitatif, yaitu data berupa angka. Supaya tidak menyesatkan, khusus bagi anak tunagrahita data kuantitatif ini hendaknya selalu diiringi dengan data kualitatif
5.        Pelaksanaan Asesmen
Pembahasan berikut in lebih diarahkan kepada pelaksanaan asesmen setelah anak tunagrahita berada di dalam kelas ( setelah anak belajar). Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai ruang lingkup, asesmen menentukan apa yang akan diajarkan kepada siswa secara individu, dan bagaimana cara guru mengajar anak sehingga memperoleh kemajuan yang optimal.
a.       Asesmen untuk menentukan apa yang harus di ajarkan kepada siswa secara individu
                        Pada hakekatnya guru mempunyai tugas untuk membantu individu agar dapat belajar secara baik dan memperoleh hasil yang optimal (sesuai dengan kemampuannya). Oleh karena itu, dalam merencanakan program pengajaran guru hendaknya memperhatikan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anak baik yang bersifat inter individual maupun intra indvidual. Hal ini sangat penting terutama bagi anak tunagrahita, yang sifat perbedaan individual sangat nampak.
                        Untuk menentukan apa yang harus di ajarkan kepada siswa secara individu, ada beberapa langkah/urutan yang harus di perhatikan.
Marcer & Marcer (1993 : 38) menyaran langkah sebagai berikut
1. Determine scope and sequence of skill to be taught.
2. Decide what behavior to assess.
3. Select an evaluation activity.
4. Administer the evaluation service.
5. Record the student’s performance.
6. Determine specific short and long range instructional objectives.
Pelaksanaan langkah/urutan kegiatan tersebut dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini.

Pertama, menentukan scope (bidang) dan urutan keterampilan yang akan diajarkan. Untuk melaksanakan hal ini dengan efektif, maka guru harus memahami tingkatan kemampuan siswa dalam bidang-bidang pengajaran tertentu. Hal ini perlu dilakukan mengingat kemampuan antara siswa yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Guru biasanya dapat mengetahui dengan jelas keterampilan-keterampilan yang telah dikuasai oleh siswa dan keterampilan yang perlu dikuasainya. Melalui analisis tugas, biasanya guru dapat mengidentifikasikan keterampilan siswa sampai kepada bagian-bagian yang terkecil.
Kedua, memilih tingkah laku yang akan dinilai. Penilaian tingkah laku dimulai dari tingkat yang paling global sampai pada tingkay yang paling spesifik. Tingkah laku global yaitu penggradasian materi kurikulum yang melibatkan tingkah laku siswa dalam rentang keterampilan yang luas. Misalnya dalam bidang membaca meliputi: keterampilan mengenal huruf dan kata, pemahaman kata, dan mungkin pemahaman wacana. Sedangkan tingkah laku yang spesifik mengacu pada penentuan secara langsung tujuan pengajaran, misalnya: siswa perlu belajar bunyi vokal pendek.
Ketiga, memilih kegiatan evaluasi. Dalam hal ini guru perlu mempertimbangkan apakah kegiatan itu untuk menilai rentang keterampilan atau untuk menilai keterampilan khusus. Apabila penilaian tentang rentang keterampilan dibutuhkan maka hal itu umumnya dilakukan tidak secara kontinyu (misalnya 2 kali dalam setahun). Akan tetapi penilaian keterampilan khusus sebaiknya bersifat kontinyu, yang hasilnya dapat digunakan untuk merencanakan pelajaran berikutnya.
Keempat, pengadministrasian alat evaluasi. Pengadministrasian alat evaluasi biasanya diperlukan untuk penilaian awal. Kegiatan ini meliputi: identifikasi bidang masalah, pencatatan pola-pola kesalahan, penilaian keterampilan tertentu. Setelah penilaian awal dilaksanakan dan tujuan-tujuan pengajaran ditentukan, maka selanjutnya guru juga perlu menentukan prosedur untuk memonitoring kemajuan.
Kelima, pencatatan penampilan siswa. Ada dua jenis penampilan siswa yang harus dicatat oleh guru, yaitu penampilan pada pekerjaan sehari-hari yang biasanya dicatat dengan aktivitas buatan guru; dan penguasaan keterampilan secara keseluruhan yang biasanya dicatat dalam bagan-bagan atau format kemajuan setiap individu yang telah disediakan untuk keperluannya tersebut.
Keenam, penentuan tujuan pengajaran khusus jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan yang baik adalah tujuan yang dapat mengamati tingkah laku yang terjadi dan menggambarkan kriteria penilaian yang berhasil. Contoh: tujuan jangka pendek, memberi materi berupa huruf-huruf  konsonan seperti: b, c, d, f, g, dan seterusnya, siswa jangka panjang, memberikan materi berupa rangkaian huruf  vokal dan konsonan, siswa dapat menyebutkan 90% fonem dengan benar. Dalam hal ini yang penting adalah bahwa tujuan jangka pendek hendaknya langsung memeberukan kontribusi terhadap pencapaian tujuan jangka panjang.

b.    Asesmen untuk menentukan bagaimana cara guru mengajar siswa untuk mencapai kemajuan yang optimal
          Kegiatan yang biasanya dilakukan untuk menentukan cara pengajaran dalah mengidentifikasi bidang-bidang utama yang mendasari penilaian. Bidang-bidang tersebut mencakup faktor harapan, peristiwa stimulus, faktor respon, dan peristiwa berikutnya.
1)       Faktor harapan, mengacu pada orientasi individu terhadap situasi belajar. Berbagai harapan yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa dan tingkah lakunya adalah: harapan siswa, harapan guru, harapan teman sebaya, dan harapan orang tua.
a)        Harapan siswa. Dalam hal ini guru hendaknya mencari dan memiliki informasi tentang berbagai harapn siswa dalam belajar. Informasi penting yang harus diketahui guru adalah apakah siswa menunjukan harapan negatif? Kepada siapa dan untuk apa reaksi negatif itu ditujukan? Apa alasan dinyatakannya reaksi negatif tersebut? Informasi tersebut sangat bermanfaat dalam merencanakan pengajaran. Sebagai contoh jika siswa tidak menyenangi pelajaran menyanyi karena malu menyanyi di depan teman-temannya, maka guru mungkin menyediakan situasi menyanyi satu-persatru secara individu atau berdua di temani seorang temannya.
b)        Harapan guru. Dalam hal ini guru harus mampu mengembangkan persepsi-persepsi siswa untuk dijadikan umpan balik dalam menciptakan harapan-harapan siswa. Jika guru berharap dan menerima lebih sedikit dari apa yang sebenarnya dapat dilakukan siswa, maka harapan ini mungkin dapat menghambat kemajuan belajar dan perkembangan sosial siswa.
c)      Harapan teman sebaya. Melalui interaksi setiap hari antar teman sekelas, siswa belajar untuk memandang diri mereka sendiri. Penerimaan teman sebaya akan membantu anak memperoleh rasa percaya diri dan keyakinan yang dapat membuat penampilan akademiknya lebih baik, penolakan teman sebaya dapat mengakibatkan perasaan cemas dan ragu pada kemempuan dirinya. Archer & Aegar (Marcer & Marcer, 1993 : 50) menyatakan bahwa: “The teacher must be aware of peer values, specially those relating to academic achievment adan social behavior”. Maksudnya adalah bahwa guru harus waspada terhadap nilai-nilai teman sebaya anak khususnya yang berkaitan dengan prestasi akademik dan tingkah laku sosial.
d)     Harapan orang tua. Orang tua memiliki peran dan pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan anak, termasuk didalamnya perkembangan akademik dan sosial. Sikap dan perlakuan orang tua banyak menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Tuntutan orang tua yang terlalu tinggi akan menjadi beban bagi anak  dan dapat menimbulkan sikap putus asa, rendah diri, dan sebagainya. Sebaliknya tuntutan yang terlalu rendah juga akan membuat anak tidak termotivasi untuk berprestasi. Mengenai hal ini, Marcer & Marcer (1993 : 50) mengemukakan bahwa jika orang tua menghargai dan memberikan penguatan terhadap hasil belajar siswa, maka siswa cenderung untuk termotivasi karena meraka mengerjakan pekerjaan rumah dan mendapatkan nilai yang baik di sekolah. Dorongan orang tua seringkali menjadi faktor penentu dalam mempertahankan motivasi dan prestasi siswa dalam belajar.
2)        Peristiwa stimulus, termasuk didalamnya adalah perssiapan materi, metode pengajaran, dan latar ruang kelas yang menimbulkan respon siswa. Guru hendaknya memiliki kemampuan untuk menciptakan suasana yang dapat merangsang siswa untuk belajar lebih baik., misalnya apa yang disenangi dan tidak disenangi oleh siswa. Informasi ini dapat diperoleh guru baik melalui observasi langsung maupun tidak langsung.

3)        Faktor respon. Tugas yang diberikan guru biasanya mendorong siswa untuk membuat respon gerak atau verbal, atau keduanya. Memilih jenis respon untuk melakukan kegiatan pengajaran dapat menjadi sangat penting bagi siswa. Beberapa siswa dapat berperan lebih baik bila responnya melibatkan aspek motorik secara meluas (misalnya: menulis angka, menekan tombol, menghubungkan titik-titik, dan sebagainya); yang laii lebih baik bila melibatkan fungsi-fungsi respon verbal. Bila ada siswa yang menulis angka dengan lamban atau bicara dengan cepat tanpa berfikir, maka kecendrungan respon ini perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pengajaran.

4)        Peristiwa Berikutnya. Banyak bentuk situasi posotif yang dapat dilakukan guru sebagai penguatan yang dapat mempengaryhi tingkah laku siswa. Dalam hal ini guru mempunyai berbagai cara untuk dapat menemukan apa yang dapat dijadikan penguatan bagi siswa. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa dalam memberikan penguatan, guru harus mempertimbangkan waktu, jumlah, serta rasio penguatan tersebut. Sebagai contoh: ada siswa yang membutuhkan penguatan segera untuk mempertahankan tingkah lakunya, sedangkan siswa yang lain dapat mentolelir penundaan.


Faktor-faktor harapan, peristiwa-peristiwa stimulus, jenis-jenis respon, dan peristiwa yang terjadi berikutnya harus dipertimbangkan dalam hubungannya satu sama lain. Keempat faktor tersebut sangat penting untuk dipertimbangkan secara bersamaan untuk membuat strategi pengajaran yang memberikan fasilitas belajar terbaik.



Prof.Drs.H.Moh.Amin,Dipl.H.P(1995).Ortopedagogik Anak Tunagrahita.Bandung

0 komentar:

Posting Komentar