Pages

Hari sekarang

Aku dan Tunagrahita

Aku dan Tunagrahita

Jumat, 22 November 2013

Mental Retardation

Mental Retardation

Children with mental retardation are those who are subnormal in intelligence and also sociallly incompatent . It means those who have deficit in both intellectual functioning and adaptive capability.If a person has low intellectual functioning but he has adequate adaptive behavior, then the person is not considered mentally retarded. The retardation is manifested during the developmental period before or after birth.

Mental retardation is not a disease though the cause can be. Mental retardation is caused by many kinds of factors.It can be due to genetic factor like Down Syndrom or because of brain damage. Brain damage can be the result of infectious disease for example : meningistis, enchephalitis or accidents. Mental retardation can also be caused by poor environment. This cause is considered to be culturally familially retarded.

Some educators classify the mental retardation into:
Educable mentally retarded
Trainable mentally retarded
Severelly/profoundly handicapped
But most profesionals prefer to use the terms "mild", "moderate", "severe", and "profound". These term minimize negative stereotype of mentally retarded children.

Mentally retarded children need education with different individual orientations. For the mildly retarded the preschool and early elementary school is for readiness skills, such as following directions, developing language and self help skills. On the intermediate level the emphasis in on functional academics for the purpose of independent life.For the moderately retarded the education is even less academics but more functional. Beside the self help and vocational skill, the sheltered workshop is a vital part of the moderately retarded person depending on the capabilities.


sejarah pendidikan bagi tunagrahita di Indonesia

Sejarah Pendidikan Anak Tunagrahita di Indonesia
Usaha pendidikan anak-anak tunagrahita mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan bermacam-macam pandangan orang terhadap anak tunagrahita khususnya dan berkelainan (penyandang cacat) pada umumnya.
Pendidikan anak tunagrahita di Indonesia daoat ditinjau dalam tiaga fase perkembangan, yaitu :
a.       Masa sebelum abad ke-20
b.      Masa sebelum perang dunia ke-2
c.       Masa sesudah Indonesia merdeka

a.      Masa Sebelum Abad ke—20
Pada masa ini perhatian terhadap anak tunagrahita, seperti halnya terhadap penyandang cacat lainnya, di Indonesia berkembang seperti halnya di bagian dunia lainnya, yaitu: diantaranya dipengaruhi oleh pandangan-pendangan super natural (tahayul), diawali oleh langkah-langkah perawatan yang timbul dari kalangan masyarakat.
Seperti halnya di tempat-tempat lain di dunia, orang-orang Indonesia zaman dahulu percaya kepada hah-hal yang bersifat super natural, yaitu kepada roh-roh, kekuatan gaib, dan para dewa. Menurut kepercayaan ini segala sesuatu di alam raya ini berlangsung menurut kehendak roh, kekuatan gaib, dan para dewa.
Lahirnya anak tunagrahita disebabkan oleh para roh, kekuatan gaib, dan para dewa yang menghendaki seseorang menjadi cacat. Hal itu katanya ada hubungannya dengan keberuntungan anak yang bersangkutana atau orang tuanya. Lahirnya seorang anak tunagrahita mungkin merupakan pertanda bahwa kekuatan-kekuatan super natural marah atau memberi cobaan. Atau mungkin pula karena kekuatan-kekuatan super natural akan memberikan rezeki yang lebih banyak kepada anak yang bersangkutan atau kepada keluarganya.



Kedatangan agama Islam dan Nasrani membawa ajaran baru kepada orang Indonesia, di antaranya :
1)      Yang mengatur segala segala sesuatu bukanlah roh, kekuatan gaib, atau para dewa, melainkan Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT).
2)      Setiap orang mempunyai kewajiban moral dan hendaklah melakukan usaha-usaha kongkret untuk orang-orang yang lemah, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan penyandang cacat di antaranya anak tunagrahita.
Ajaran berbuat baik kepada orang lain tercantum pada kitab suci dan merupakan ajaran ahlak yang penting menurut agama. Nabi Muhammad SAW sendiri mencontohkan mendirikan “Ihwanus Safa” untuk menampung orang-orang yang merupakan pertolongan (fakir miskin, yatim, anak-anak cacat dan sebagainya).
Tidaklah mengherankan apabila pada abad ke-17 para Sultan di Pulau Jawa telah mulai mengadakan perawatan/pemeliharaan terhadap orang-orang yang memerlukannya termasuk para penyandang cacat. Para Sultan itu di samping memegang kendali pemerintahan juga merupakan pemimpin agama.
Pada zaman pemarintahan Hindia-Belanda, Indonesia mengenal dua jenis pendidikan yaitu :
1)      Yang diselenggarakan oleh pemerintah (Sekolah Negeri)
2)      Yang diselenggarakan oleh masyarakat (Sekolah Swasta)
Kebanyakan sekolah-sekolah swsta yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh agama (para kiyai-kiyai). Lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh  para kiyai itu disebut pesantren. Berbeda dengan sekolh-sekolah yang diseleggarakan oleh pemerintah, di pesantren-pesantren (dan di masjis-masjid) menganut 2 ciri yang penting, yaitu :
1)      Beranggapan bahwa setiap orang wajib belajar (dalam bahasa agama Islam dikatakan: Mencari ilmu itu wajib bagi setiap pria dan wanita muslim)
2)      Mempergunakan tutor dan melaksanakan prinsip individualisasi pengajaran (individualization teaching)
Kedua prinsip pendidikan pesantren itu penting bagi anak luar biasa termasuk anak tunagrahita. Karena dalam prinsip yang pertama telah mengakui bahwa setiap orang tidak terkecuali penyandang cacat berhak mendapat pendidikan ini sesuai dengan UU RI No. 2 tahun 1989, sesuai pula dengan prinsip-prinsip  PBB (UNESCO) tentang Universal Education dan Education For All. Pada prinsip yang kedua yaitu: prinsip tutor dan individualisasi pengajaran. Pesantren-pesantren itu telah menunjuk tutor-tutor, yaitu: santri-santri sebior yang telah kemajuan untuk membantu mengajar adik-adik kelasnya. Bantuan tersebut pada umumnya dilaksanakan secara individual at dalam kelompok kecil. Prinsip tutor ini berarti melaksanakan system individualisasi pengajaran yaitu melaksanakan pengajaran dengan cara menyesuaikan bobot dan tingkat bahan pelajaran kepada tingkat kemajuan dan kemampuan peserta didik. Prinsip incividualisasi pengajaran ini mempunyai peran penting dalam pendidikan dan pengajaran bagi anak tunagrahita khususnya dan uumumnya pada semua anak  berkelainan.
Meskipun pada masa sebelum abad ke-20 di Indonesia belum melaksanakan pendidikan anak cacat secara melembaga, masa ini ditandai dengan berkembangnya pemeliharaan terhadap anak  dan orang dewasa yang cacat termasuk penyandang tunagrahita. Namun sesuai dengan prinsip bahwa menuntut ilmu wajib bagi semua orang tidak mustahil ada penyandang cacat misalnya tunagrahita ringan mengkuti pendidikan di pesantren-pesantren bersama-sama denganrekan-rekanya yang normal. Ini berarti sudah melaksanakan prinsip pendidikan terpadu.
Demikian tanpa disadari lembaga pendidikan system pesantren itu telah meletakkan dasarr yang penting untuk memenuhi hak para penyandang cacat memperoleh pendidikan sebagaimana rekan-rekannya yang normal.
b.      Masa sebelum Perang dunia ke-2
Dalam permulaan abad ke-20 Pemerintah Hindia Belanda telah mempunyai beebrapa sekolah khusus untuk anak-anak bumi putra, di antaranya Sekolah Desa yang lamanya 3 tahun dan ada sekolah sambungan yang lamanya 2 tahun sebuah Sekolah Desa  (verolg); HIS yang lamanya 6 tahun dan 7 tahun. Ada juga sekolh lanjutan, seperti sekolah guru 2 tahun (CVO); dan ada pula yang 4 tahun lamanya (NS) setelah sekolah rendah lima tahun; HIK untuk tamatan dari HIS; dan da juga sekolah lanjutan umum lainnya dan sebagainaya.
Ada juga sekolah khusus untuk anak-anak orang Belanda dan Eropa lainya, yang juga boleh diikuti oleh anak bumi putra yang orang tuanya mempunyai jabatan tertentu pada Pemerintah Belanda. Untuk tingkat sekolah rendahnya ialah ELS dan ada juga sekolah lanjutannya seperti HBS.
Di samping sekolah pemerintah berkembang pila sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan oleh perkumpulan-perkumpulan atau yayasan-yayasan, misalnya: Sekolah Taman Siswa, Sekolah-sekolah yang diselanggaarakan oleh organisasi keagamaan, seperti: Sekolah-sekolah Muhammadiayah, Nahdatul Ulama, Matla’ul Anwar, Al Waliyah, dan sebagainya.
Bahan yang pertama mengusahakan Pendidikan Luar Biasa untuk anak Tunagrahita di Indonesia ialah perkumpulan Pengajaran Luar Biasa, suatu perkumpulan amal yang pada waktu itu bernama “Vereniging voor Buitengewoon Lager Onderwijis”. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 31 1927 atas inisisatif dr. A. Kits Van Heininge dan W. Akkersdijk, berkedudukan di Bandung. Dengan surat keputusan G. G Nederlands Indie 16 Pebruari 1928 No. 34 Perkumpulan tersebut diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon) dan disetujui pula anggaran dasarnya.
Dlam anggaran dasar perkumpulan tersebut pasal 2 (maksud dan tujuan):
1)      Perkumpulan bermaksud. Mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran khusus untuk anak-anak yang “Terbelakang” atu “ Lemah Pikiran” yang kurang mampu atau tidak sanggup mengikuti pendidikan dan pengajaran di sekolah biasa sebagai akibat kelambatan atau gangguan psikis di dalam perkembangan daya piker.
2)      Perkumpulan bertujuan, memberikan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kbutuhan dan kesanggupan  anak-anak yang tersebut pada pasal 2 ayat a, agar mereka dapat menjadi anggota mayarakat yang berguna serta diharapkan secara ekonomis dapat berdiri sendiri.
Sekolah yang pertama untuk anak tunagrahita didirikan oleh perkumpulan tersebut dalam tahun 1927 itu juga bertempat di jalan Raya Timur 288 Bandung. Sebagai Direktur sekolah yang pertama ialah Tuan J.E Folkerts, karena itu sekolah itu dulu diberi nama “J.E Folkerts School” sesuai dengan nama Direktur sekolah tersebut.
Meskipun secara resmi dalama penerimaan murid tak ada pembatasan, tetapi dalam kenyataanya yang diterima menjadi murid hanyalah anak-anak orang Belanda dan Eropa lainya. Sampai akhir 1941 sekolah ini telah mempunyai murid sebanyak 54 orang.
Dalam brosur perkumpulan tersebut dinyatakan pula tentang system pengajaran yang diberikan ialah system individualisasi pengajaran, yaitu murid-murid mendapat bahan pelajaran sesuai dengan keterbatasan tingkat kemampuan dan kemajuan yang dicapai.
Sampai meletusnya perang dunia kedua sekolah luar biasa untuk anak tunagrahita di Indonesia berjumlah tunggal yaitu hanya satu-satunya itu saja di Bandung. Pada waktu pendudukan Jepang sekolah ini tidak berjalann, baru diaktifkan kembali sejak pengakuan Republik Indonesia oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1950.
c.       Sesudah Indonesia Merdeka
Sejak awal kemerdekaan, para pemimpin Republik Indonesia telah memperhatikan pendidikan bangsanya. Dalm UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran”, pada ayat 2 dinyatakan; Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Sebagai tindak lanjutnya pemerintah Republik Indonesia yang waktu itu beribukota di Yogyakarta, mengeluarkan UU No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. UU ini kemudian diberlakukan di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan nama undang-undang pokok pendidikan dan pengajaran nomor 12 tahun 1954. Dalam UU tersebut pada bab V pasal 6 ayat 2 dinyatakan “Pendidikan dan pengajaran luar bisa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan.”
Dengan demikian, sejak itu Indonesia memiliki dasar hukum positif untuk menyelenggarakan pendidikan luar biasa yaitu pendidikan khusus bagi anak berkelainan (berkekurangan jasmani dan rohani). Untuk mengisi dan melaksanakan UUD dan undang-undang pendidikan dan pengajaran tersebut , pemerintah bersama organisasi/perorangan swsta yang berminat dalam penyelenggaraan  pendidikan penyandang cacat mengaktifkan kembali sekolah-sekolah swasta untuk anak cacat yaitu sekolah anak tunanetra, tunarungu dan tunagrahita, yang ketiganya bertempat di Bandung. Ketiga sekolah anak-anak cacat tersebut selama masa pendudukan Jepang tidak berjalan (ditutup).
Dari catatan sejarah yang ada bahwa selama Pemerintah India Belanda dab pendududkan Jepang sampai dengan tahun 1952 belum seorang pun bangsa Indonesia yang mendapat pendidikan khusus untuk menjadi guru pendidikan bagi anak-anak cacat (PLB) termasuk untuk menjadi guru pendidikan anak tunagrahita. Padahal tenaga guru merupakan unsur yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan pendidikan, demikian pula untuk pendidikan penyandang cacat termasuk pendidikan untuk anak tunagrahita.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru bagi sekolah-sekolah pengajaran luar biasa yang kemudian menjadi sekolah pendidikan luar biasa dimaksud, maka pada tahun 1952 dengan surat keputusan nomor 24954 tertanggal 26 Juli 1952, Pemerintah Republik Indonesia membuka Sekolah Guru Pengajar Luar Biasa (SGPLB) yang pertama di Bandung. Sekolah Guru pengajar luar biasa ini menerima guru-guru lulusan SGB yang berprestasi serta telah memiliki masa kerja di Sekolah Rakyat sekurang-kurangnya 2 tahun dengan umur tidak lebih dari 30 tahun. Mereka di didik selama 2 tahun dan menjalani latihan praktek di Sekolah Rakyat Latihan Luar Biasa (SRLLB) selama 2 tahun pula.
Penunjukan Bandung sebagai kota yang pertama yang menyelenggarakan Sekolah Guru Pengajaran Luar Biasa memang tepat, karena di kota ini ada Sekolah Rakyat Luar Biasa (SRLB) A, B, C. Pemerintah segera mengangkat sekolah-sekolah rakyat luar biasa (swasta) tersebut menjadi  Sekolah Rakyat Latihan Luar Biasa (SRLLB) untuk “mahasiswa” sekolh pengajar guru luar biasa (SGPLB). Tamatan SGPLB yang pertama ini sebagian ditempatkan di Sekolah Rakyat Latihan Luar Biasa di Bnadung, sebagian dikembalikan de daerah asal, masing-masing dengan tugas membuka sekolah rakyat luar biasa baru. Kemudian SRLB dirubah menjadi SLB (Sekolah Luar Biasa).
Sesuai dengan kondisi waktu itu Sekolah Guru Pengajar Luar Biasa membuka 3 jurusan yaitu jurusan-jurusan A, B, dan C masing-masing untuk calon guru sekolah anak tunanetra, anak tunarungu, dan anak tunagrahita. Penjurusan di Sekolah Guru pengajaar luar biasa itu kemudian berkembang menjadi cirri sekolah-sekolah luar biasa di Indonesia yakni Sekolah Luar Biasa bagian A (untuk anak tunanetra), Sekolah Luar Biasa bagian B (untuk yang tunarungu) dan Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1 (untuk anak tunagrahita ringan dan sedang).
Kemudian penjurusan di Sekolah Guru Pengajar Luar Biasa yang kemudian menjadi Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa berkembang menjadi  A, B,C,D, E. Jurusan D  (untuk calon guru anak tunadaksa), dan jurusan E (untuk calon guru sekolah pendidikan anak tunalaras). Demikian pula SLB-SLB yang semula hanya Sekolah Luar Biasa A, B, dan C kemudian menjadi SLB-A, SLB-B, SLB-C, SLB-D dan SLB-E. Bahkan ada SLB campuran (SLB A-B-C) atau SALB A-B, atau SLB B-C dan ada SLB-G (uuntuk anak cacat Ganda).
Lulusan pertama SGPLG yang dihasilkan dalam bulan September 1954 itu jumlahnya sangat terbatas yaitu: 12 orang untuk guru SLB-A, 10 untuk SLB-B dan 9 orang untuk SLB-C (untuk anak tunagrahita). Mereka yang jumlahnya 21 orang inilah sebagai tenaga guru pertama yang berijazah untuk mengajar di SLB-SLB di Indonesia. Telah dikemukakan di atas bahwa tamatan SGPLB pertama ini sebagian ditempatkan di SRLLB di Bandung dan sebagian ditempatkan di daerah asal masing-masing dengan tugas membuka SLB yang baru.
      Di antara yang ditugaaskan di SRLLB di Bandung itu adalah saudara Mohammad Amin yang ditempatkan di SRLLB-C (untuk anak tunagrahita) sesuai dengan jurusan yang telah diselesaikannya. Pada bulan Mei 1956 ia diangkat sebagai kepala SRLLB-C tersebut. Dengan demikian Mohammad Amin adalah orang Indonesia pertama yang menjabat/ditunjuk pemerintah sebagai kepala SLB anak tunagrahita di Indonesia.
      Sebagian lulusan SGPLB pertama jurusan C ditempatkan d dearahnya masing-masing dengan tugas membuka SLB-C baru. Semua mereka berusaha untuk merintis SLB anak tunagrahita (SLB-C) yang baru. Angkatan SGPLB pertama itu segera diikuti oleh angkatan kedua, ketiga dan seterusnya, sehingga dalam waktu kurang lebioh dari 20 tahun telah berdiri SLB-SLB C di Jakarta, Yogyakarta,Surabaya, dan kota lain d luar jawa seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Bali.
      Pad tahun 1974 menurut data yang (Depdikbud 1975; 76-78) sekolah untuk anak tunagrahita (SLB-C) telah berjumlah sebanyak 50 buah yang tersebar di 13 Propinsi di Indonesia. Yaitu di DKI Jakarta 7 buah , Jawa Barat 14 buah, Jawa Tengah 6 buah, Yogyakarta 12 buah , Jawa Timur 4 buah, Bali 1 buah, Sumatra Selatan 1 buah, Sumatra Barat 1 buah, Sumatra Utara 1 buah, Sulawesi Selatan 1 buah, Sulawesi Utara 1 buah dan Kalimantan Barat 1 buah.
      Banyak usaha yang telah dilakukan di Indonesia baik pemerintah maupun badan sosial swasta atau pun organisasi professional bersama-sama mengehimbangkan pendidikan luar biasa di Indonesia termasuk pendidikan anak tunagrahita. Dapat diketahui dari data yang ada menunjukan bahwa lembaga-lembaga dan sekolah-sekolah untuk anak cacat di Indonesia meningkat terus. Peningkatan pengembangan pendidikan luar biasa di Indonesia lebih pesat lagi setelah pencanangan wajib belajar oleh bapak presiden Soeharto. Karena wajib belajar berlaku untuk semua warga Negara, tidak terkecuali warga yang berkelainan, baik wajib belajar yang semua untuk tingkat Selolah Dasar maupun wajib belajar yang dicanangkan kemudian untuk tingkat Pendidikan Dasar (SD+SLTP).





      Berdasarkan data yang ada di Depdikbud tahun ajaran 1993/94 jumlah sekolah untuk anak tunagrahita (SLB-C, SLB-C1 dan SDLB kelas C) ada 371 buah dengan jumlah ruang kelas 4003 buah. Jumlah murid seluruhnya sebanyak 13.614 orang dengan perincian sebagai berikut :
KEADAAN SEKOLAH, KELAS, DAN MURID ANAK TUNAGRAHITA
DI INDONESIA TAHUN AJARAN 1993/1994
No.
Jenis Sekolah
Jumlah Sekolah
Jumlah Ruang Sek.
Jumlah Murid
Jumlah Prop yg melaksanakan
1

SLB-C

111

1.047

5.931

13
2

SLB-C1

15

188

929

6
3

SLB-C dan C1

35

462

2.138

12
4

SDLB-C dan C1

209

2306

4.616

27
Jumlah

371

4.003

13.614

Catatan :
      Untuk SLB-C, SLB-C1 dan SLB-C/C1 kurang lebih 80% adalah sekolah swasta, sedangkan SDLB semuanya sekolah pemerintah.
      Kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena pendidikan bagi anak tunagrahita sebagai mana anak cacat yang lainnya telah mempunyai landasan yang sangat kuat, yaitu Filsafat Pancasila dan UUD 1945; USPN (UU RI No. 2/1989) dan PP No. 72/1991. Dari data yang ada sungguh kita gembira bahwa perkembangan selama kurang lebih 40 tahun, sejak 1954 sampai sekarang, jumlah sekolah untuk anak tunagrahita dewasa ini telah mencapai 371 buah sekolah dengan jumlah murid sebanyak 13.614 orang.
      Kita berbesar hati dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena pendidikan bagi anak tunagrahita di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat, jika dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu kala. Sebab selama pemerintahan Hindia Belanda hanya berdiri sebuah sekolah untuk anak tunagrahita dengan jumlah murid terakhir 54 orang (semua anak-anak Belanda/Eropa lainya).
      Ditinjau dari jumlah peserta didik anak tunagrahita,  sungguh dapat dibanggakan. Tetapi jika ditinjau dari jumlah perkiraan anak tunagrahita di Indonesia sebagaimana telah dikemukakan maka untuk mencapai pemerataan pendidikan bagi semua anak tunagrahita masih banyak yang harus dikerjakan dan dikembangkan.

No.
Jenis Sekolah
Jumlah Sekolah
Jumlah Ruang Sek.
Jumlah Murid
Jumlah Prop yg melaksanakan
1

SLB-C

111

1.047

5.931

13
2

SLB-C1

15

188

929

6
3

SLB-C dan C1

35

462

2.138

12
4

SDLB-C dan C1

209

2306

4.616

27
Jumlah

371

4.003

13.614



      Kemungkinan besar di antara anak tunagrahita yang  belum mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah khusus (SLB-C dan C1) banyak yang telah mengkikuti  pendidikan di sekolah biasa, khususnya bagi penyandang tunnagrahita ringan. Mereka belajar bersama-sama dengan rekannya yang normal, yang munkin tanpa disadari oleh gurunya bahwa mereka itu perlu mendapat perhatian khusus, bahkan di mana perlu diberikan pelayanan khusus dalam pendidikannya di samping layanan bersama dengan teman-teman sekelasnya yang normal. Jika tidak, mereka itu akan selalu tinggal kelas atau kalau naik kelas karena belah kasihan, sehingga pada umumnya mereka drop out (putus studi).
      Kenyataan tersebut di atas perlu pemikiran dan usaha nyata dalam mengintegrasikan anak-anak tunagrahita di sekolah biasa. Pendidikan Integrasi yang di Indonesia desebut  pendidikan terpadu adalah mengintegrasikan anak cacat termasuk yang tunagrahita di sekollah biasa. Mereka mengikuti pendidikan di sekolah biasa bersama-sama dengan teman-temannya yang normal. Tetapi seyogyanya meskipunmereka diintegrasikan ke sekolah biasa, mereka tetap memerlukan layanan pendidikan khhusus sesuai dengan jenis dan tingkat kelainannya karena itu pendidikan terpadu itu bermacam-macam bentuknya bervariasi.

      Prof.Drs.H.Moh.Amin,Dipl.H.P(1995).Ortopedagogik Anak Tunagrahita.Bandung